Jumat, 06 Juni 2008

Penalaran Bayani, Burhani, Irfani, dan Amaly

Oleh: Sahroni

Penalaran Bayani

Tradisi bayani berkembang paling awal dan tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Pendekatan bayani yang menjadi asas utama pada pemikiran fiqh Islam. Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks al qur'an dan sunnah sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelaskan teks. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatikal dan sastra Arab. Al qur'an dan al sunnah adalah rujukan ilmu-ilmu Islam. Kebenaran wahyu adalah absolut.[1]

Untuk menghasilkan pengetahuan, tren bayani ini akan mengutamakan tiga hal;[2]

1. Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab yang baku.

2. Menitikberatkan otoritas transmisi suatu teks nash agar tidak keliru ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu Hadis riwayah.

3. Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas.

Walaupun Islam memerlukan nalar bayani, namun di sisi lain penggunaan nalar bayani secara berlebihan akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat berubah. Faktanya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyyah kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia.[3] Hal yang sama juga diutarakan oleh Amir Mualim bahwa dominasi dan orientasi pemahaman bayani yang berlebihan akan menimbulkan persoalan dalam pemikiran hukum Islam.

Tradisi bayani telah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) dan menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan dan keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dinilai sebagai salah satu teoritikus utama formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan penting al-Syafi’i dalam proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah pada posisi kedua dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah dengan kandungan hadis yang berasal dari Nabi, dan mengikat erat ruang gerak ijtihad dengan nash.[4] Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga aktivitas intelektual senantiasa berada dalam haul al-nash (lingkar teks) dan berorientasi pada reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem wacana” terhadap tata hubungan wacana verbal (kalam) --bukan “sistem nalar” yang berkaitan dengan tata hubungan fenomena empiris logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas rujukan epistemologis nalar Arab Islam. Selain itu, validitas pengetahuan juga dituntut untuk “analogis” dengan teks yang sudah dijadikan sebagai al-ashl tersebut. Tata hubungan dalam wacana verbal yang memang dibentuk secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan pada prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan).

Selanjutnya, prinsip ini setelah bertemalian dengan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap realitas. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tadi. Hasil dari penalaran ini adalah ilmu-ilmu normatif, seperti tafsir–ulumul qur’an, hadis-ulumul hadis, fiqh-usul fiqh, bahasa-sastra.

Penalaran Burhani

Masuknya pengaruh pemikiran Yunani (Hellenistik) ke dalam tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun untuk mengembangkan diskursus baru sebagai counter terhadap gerakan intelektual-politis yang dinilai mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan oleh masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql al-kauni (nalar universal, universal reason) yang menjadi basis utama epistemologi burhani. pendekatan burhani berdasarkan pada kekuatan rasio yang dilakukan secara logika.

Menurut Amir Mualim, pendekatan burhani ini menjadikan realitas teks dan konteksnya sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani ini tercakup metode ta’lili yang berupaya memahami realitas teks berdasarkan rasionalitas; dan metode istilahi yang berusaha mendekati dan memahami realitas atau konteks berdasarkan filosofis. Realitas tersebut meliputi realitas alam, realitas sejarah, realitas social maupun realitas budaya.

Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional untuk pemerolehan pengetahuan tentang semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis dan valid.

Hal ini sejalan seperti disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik adalah tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yang besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum dan struktur sosial. Temuan ini diperkuat oleh Arkoun bahwa yang menjadi kecenderungan pemikiran Arab klasik adalah tekstualisme.[5]

George Makdisi dengan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik dan rasionalistik. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang pada keunggulan faith (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori kedua karena berpegang pada keunggulan akal.

Ushul fikih sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi. Dengan kata lain, ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum.

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yang berbeda-beda. Namun demikian, munculnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait dengan back-ground historis pada zamannya. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami berbagai ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi salaf sampai abad modern sekarang ini. Hasil dari penalaran ini adalah ilmu-ilmu spekulatif, seperti falak, ilmu alam, ilmu sosial, geografi, dan filsafat.

Penalaran Irfani

Setelah dunia Islam mengalami kontak massif-akulturatif dengan budaya luar dan mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar pun mulai berkembang dalam diskursus intelektual Islam dan melahirkan epistemologi irfani. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah; misalnya intuisi.

Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah samawi dan menganggap rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa manusia dengan Tuhan, bukan rasio yang mampu menerima pengetahuan dari sumber aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi) yang telah mengalami kondisi kasyf.

pendekatan irfani ini biasanya digunakan oleh ahli tasawuf. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali. Namun, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah pada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam. Hal ini memang telah diterapkan sepenuhnya oleh Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin, di mana beliau menggangap bidang fiqh perlu dikaitkan dengan elemen sufisme untuk mendapatkan intisari ketakutan terhadap akhirat kepada masyarakat Islam awam secara umum.

Orang-orang suci yang telah mencapai maqam walāyah dan nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga dari kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dianggap berada pada posisi paling tinggi dan prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Hasil dari penalaran ini adalah ilmu-ilmu intuitif, seperti akhlak dan tasawuf.

Untuk konteks zaman moden ini, para sarjana Islam, termasuk pemikir hukum

perlu mengetahui kelebihan dan kekurangan ketiga tren pemikiran ini dan

perlu memadukannya secara integral untuk menghasilkan pemikiran yang benar berdasarkan penggunaan semua aspek positif yang terkandung dalam

ketiga tren pemikiran tersebut. Contoh integrasi antara tren pemikiran bayani dan burhani dalam pemikiran hukum Islam bisa dilihat pada gagasan yang mencoba mengabungkan antara ilmu ushul fiqh dengan ilmu-ilmu modern lain yang sekaligus akan melengkapi kaedah penyelidikan hukum Islam alternatif untuk zaman moden ini.

Penalaran Amaly

Penalaran ini bertumpu pada pengamalan atau pelaksanaan pengetahuan setelah sebelumnya menggunakan ketiga penalaran di atas. Penalaran ini muncul atau dimunculkan setelah Al Jabiri memunculkan tiga tradisi sebelumnya; Bayani, Burhani, dan Irfani. Dalam filsafat ilmu Islam, menurut kami penalaran amali adalah tindak lanjut dari ketiga penalaran tersebut. Hasil dari penalaran ini adalah teknologi.

Reference:

http:/shofiyullah.files.wordpress.com/2007/12/suka-press.doc

Praja, Prof. DR. Juhaya S.. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam: dan Penerapannya di Indonesia . Jakarta : Traju

Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar


[1] Prof. DR. Juhaya S. Praja, 2002, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam: dan Penerapannya di Indonesia , Penerbit Traju Jakarta, hlm. 77.

[2] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm 188-190.

[3] Ibid, hlm. 191.

[4] http:/shofiyullah.files.wordpress.com/2007/12/suka-press.doc

[5] Ibid

Gagasan Pembaharuan Zakat Fitri

Oleh: Sahroni

Telah muncul ide berbau kontroversial dari Drs Yasin M Ag(Dosen STAIN KUDUS –Sekaligus sebagai Puket III Stain Kudus) dalam bidang fiqh. Zakat fitri yang telah berjalan lama di Indonesia menjadi fokus sorotannya. Ia menilai pelaksanaan zakat fitri di Indonesia saat ini kurang tepat dan sesuai dengan zakat yang telah dijalankan pada masa nabi SAW. Ini bukan karena kebodohan ulama-ulama Indonesia pada zaman dahulu melainkan adanya kemungkinan zakat fitri belum pernah ditinjau kembali dari segi sosio-historis. Pendekatan sosio-historis terhadap zakat fitri telah mendorong Yasin untuk mengagas kemungkinan pembahauan ini. Artikel tentang gagasannya telah dimuat pada majalah “ADDIN” edisi XIV, oktober –desember 1998.

Artikel tersebut berisi tentang pembahasan dari empat masalah yang diangkatnya, yaitu:

1. Yang benar antara istilah zakat fitri dan zakat fitrah

2. Kesesuaian dari kurma, gandum, susu beku, dan anggur kering dengan makanan pokok lain yang digunakan untuk berzakat di berbagai negara

3. Dinamika bentuk zakat fitri

4. Tercapai atau tidaknya tujuan zakat fitri.

Tentu pendapat dalam artikel tersebut tidak bisa dicela begitu saja atau sebaliknya diterima secara langsung, namun perlu direspon oleh seluruh cendekiawan muslim terutama ulama-ulama Indonesia yang mengetahui kondisi sosial ekonomi secara riil masyrakat Indonesia.

Baik respon positif ataupun negatif, semuanya harus didasari dengan dalil-dalil baik aqli maupun naqli yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terpengaruh hawa nafsu ataupun keterdesakan dalam ekonomi.

A. Respon Secara umum

Menurut hemat penulis, drs Yasin M Ag, pada tulisannya, mengisyaratkan kepeduliannya terhadap dunia islam dan orang islam di dunia. Gagasannya berinti pada tercapainya ketidaksenjangan sosiala dan finansial yang cukup tinggi antar orang-orang kaya dan orang-orang miskin di Indonesia. Pendapatnya didasari denagn dalil-dalil yang kuat dan terkesan tidak dipengaruhi kepentinagn pribadi.

Upayanya dalam berislam dan berijtihad – tercermin dari tulisannya – telah membuat peluang terbukany senyuman fakir-miskin dengan lebih natural. Senyuman itu brsirastkan perasaan ingin mengucapkan terima kasih, baik kepada Yasin(selaku penggagas) ataupun lepada orang-orang yang menerima, mengikuti, dan menjalankan gagasannya.

B. Istilah Zakat Fitri

Tidak salah jika Yasin mengatakan bahwa istilah yang benar adalh zakat fitrei, bukan zakat fitrah. Hal ini karena istilah zakat fitrah(yang berarti kewajiban yang menghantar diri kesucian diri menuju “fitrah”) tidak terdapat pada al qur’an maupun al sunnah, sepengetahuan penulis.Bahasa arab memang cukup kompleks sehingga dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia kadang terjad salah dalam pengucapan kalau ditinjua kembali dari kaca mata bahasa Arab. Secara oral misalnya kata aina(di mana) dan kata ‘aina-(pada mata-). Sedangkan contoh kesalahan secara lafal misalnya fitrah dan fitrah.

Kaum muslim Indonesia menyebut zakat fitri dengan zakat fitrah sesungguhnya bukan tanpa alasan yang tidak berdasar. Fath al Qarib,salah satu dari banyaknya kitab syafi’iyah yang dianut oleh kaum muslim seantero indonesia, menyatakan bahwa zakat fitri juga disebut dengan zakat fitrah; fitrah yang bermakna kejadian awal manusia atau kesucian[1]. Jadi ada dua kemungkinan dalam makna fitrah . Bisa juga bermakna makanan(masdar sima’i dari fatara), ini adalah kemungkinan pertama. Kemungkinan yang kedua adalah bermakna makanan.

C. Perbandingan Bentuk Zakat Dengan Bahan Makanan Pokok

Zakat berbentuk beras – atau yang seharganya- yang berjalan di Indonesia, oleh Yasin dianggap tidak sebanding dengan zakat yang dijalankan Nabi. Dengan kata lain beras 2,5 kg dianggap tidak sebanding dengan kurma 2,5 kg dari berbagai aspek, terutama aspek penghidangan dan – menurut penulis- aspek harga.

Dari segi penghidangan, seperti yang dikatakan Yasin, beras membutuhkan lauk, sayur, dll sebagai pelengkap untuk memakannya secara standar. Tidak seperti beras, cara memakan kurma secara standar adalah tanpa pelengkap apapun, untuk dihidangkan kepada orang-orang dalam stratifikasi sosial ataupun finansial manapun. Begitu pula penghidangan tiga bahan zakat pada hadis Nabi selain kurma; gandum, susu beku, dan anggur kering, untuk dimakan secara standar tidak membutuhkan pelengkap(yang bisa jadi biaya pelengkapnya lebih tinggi dibandingkan dengan makanan pokoknya).

Dari segi harga, harga kurma misalnya, dapat berkali-kali lebih tinggi dari harga beras. Dapat dicontohkan bahwa harga beras saat ini berkisar Rp 5.000,- fluktuatif sedangkan harga kurma arab asli berkisar(dalam rupiah) Rp 80.000,- an fluktuatif, dan harga kurma indonesia hanya Rp 20.000 – 30.000. Jika ketiganya dibulatkan; harga beras Rp 5.000, harga kurma Indonesia Rp 25.000, dan kurma arab asli Rp 80.000, maka perbandingan ketiganya menjadi 1: 5 : 16. Perbandingan tetap tinggi dan selisih tetap jauh meskipun tanpa menyertakan biaya lauk dan pelengkap lain untuk beras. Maka tidak salah jika Yasin berani berpendapat bahwa zakat dengan beras tidak sebanding dengan zakat yang menggunakan kurma atau tiga bahan makanan pokok lainnya.

Di sisi lain, fakta Indonesia sangat berbeda dengan Arab Saudi dari segi ekonomi dan ketertiban sosial, seperti yang penulis lihat dari berbagai media. Secara umum Indonesia dan Arab Saudi merupakan negara kaya. Namun, berbeda dengan Arab Saudi, kekayaan indonesia terkorup. Hal ini sebagai salah satu penyebab terjadinya keterpurukan ekonomi Indonesia yang akhirnya berimbas negatif terhadap aspek-aspek yang lain, misalnya ketertiban dan keamanan.

Sayang penulis tidak berpengetahuan cukup luas tentang kondisi ekonomi kedua negara secara spesifik. Padahal itu relevan terhadap pertimbangan pembaharuan atau penyesuaian zakat, salah satu contohnya yaitu pendapatan per kapita. Hal-hal yang lain misalnya perbandingan atau persentase masyarakat fakir miskin dengan masyarakat bukan fakir miskin. Biasanya, golongan fakir miskin merupakan golongan masyarakat terbanyak.[2]

D. Dinamika Bentuk Zakat Fitri

Pernyataan Yasin dalam tulisannya tersebut pada halaman 12 agak ragu mengatakan bahwa ta’am(makanan pokok) dikembalikan kepada empat makanan yang disebutkan Nabi secara jelas(kurma, gandum, susu beku, dan angggur kering ). Penulis secara tegas menyalahkan pendapat Yasin yang terkesan ragu-ragu dengan menggunakan kata “nampaknya”. Menurut penulis, ta’am tidak dikembalikan kepada empat makanan itu.

Dalam penelusuran penulis dalam kitab fiqh Fath al Wahhab dengan syarah Minhaj al Thullab, ta’am berdiri sendiri dan tidak merupakan hyponim(kata umum) dari hypernim(kata khusus) kurma, gandum, susu beku, dan anggur kering. Hal ini disebutkan dalan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al Syaikhani[3], yang keduanya dikenal sebagai priaat hadis-hadis shahih. Kata ta’am berdiri sendiri dan posisinya sejajar dengan empat makanan pokok itu. Apalagi ta’am di sini relatif berbeda pada setiap negara. Penulis tetap sependapat dengan Yasin dalam hal ketidaksebandingan empat makanan itu dengan beras di Indonesia, seperti yang penuis paparkan di atas.

E. Tercapai Atau Tidaknya Tujuan Zakat Fitri

Tujuan dapat dikatakan tercapai atau tidak jika diadakan penilaian atau penilaian perkiraan perbandingan antara fakta hasil dari penerapan zakat cara sebelum digagas dengan zakat gagasan baru. Jika zakat dengan cara digagas lebih bisa menekan kesenjangan sosial dan finansial dari pada zakat dengan cara lama(yang hanya dengan 2,5 kg beras), tujuan zakat fitri tercapai, karena zakat mempunyai berbagai tujuan yang dapat ditinjau dari berbagai aspek sebagai berikut[4]:

a. Hubungan manusia dengan Allah

b. Hubungan manusia dengan dirinya

c. Hubungan manusia dengan masyarakat

d. Hubungan manusia dengan harta benda.

Pandangan Penulis Terhadap Respon Masyarakat Indonesia Secara Umum

Telah sembilan tahun berlalu semenjak tulisan Yasin dimuat pada majalah ADDIN pada tahun 1998. 9 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Gagasan zakat ini tidak terespon secara cepat dibandingkan dengan respon masyarakat Indonesia terhadap Bank Syariah. Ada berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab lambatnya respon terhadap gagasan zakat ini. Di antaranya adalah sekup publikasi yang belu cukup luas, masyarakat tingkat menengah merasa terbebani dengan pelipatgandaan biaya zakat yang harus dikeluarkan, dan lain sebagainya.

Reference:

Mudjahit, dkk. 1997. MATERI POKOK FIQIH II. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universtas Terbuka

Rahman, Abdur. 2001.Terjemah Fath al Qarib. Jakarta: Al Hikmah



[1] Abdur Rahman, Terjemah Fath al Qarib, Al Hikmah, Jakarta, hlm.155

[2] Drs. Mudjahit, MATERI POKOK FIQIH II, 1997, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universtas Terbuka, hlm.244

[3] Kitab Fiqh ”Fath al Wahhab juz I, Penerbit Alawiyah Semarang, hlm.113

[4] Op. Cit, hlm.242